Masyarakat sastra memiliki cara tersendiri dalam membagikan puisi yang mereka tulis. Banyak yang tidak sabar menunggu puisi mereka untuk diterbitkan di media cetak karena harus menunggu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan –itupun belum tentu diterima redaktur-, itu sebabnya mereka memilih jalan lain yaitu melalui media sosial bernama instagram.
Menerbitkan puisi sendiri dalam aplikasi instagram ini dianggap kebutuhan bagi mereka karena jika puisi tidak menemukan takdirnya itu akan jadi masalah bagi para penulisnya, menjadi beban pikiran, beban perasaan, dan kesakitan. Menciptakan karya sastra seperti puisi dianggap sebagai peristiwa sastra, seperti yang diutarakan oleh Sumardjo (1997: 10) bahwa peristiwa sastra adalah peristiwa yang terdiri dari kegiatan mendengar atau membaca karya-karya sastra, menciptakan karya-karya sastra, dan memberikan kritik terhadap karya-karya sastra. Dalam semua peristiwa itu, bahasa merupakan suatu unsur yang tidak dapat dikesampingkan.
Tanpa ada bahasa tidaklah ada yang disebut peristiwa sastra sebabnya ialah karena pengalaman itu timbul dan diungkapkan di dalam bentuk bahasa. Artinya pikiran, perasaan, dan pengkhayalan yang pernah terjadi di dalam kesadaran sastrawan ditangkap baik dalam kata-kata, irama, lagu, maupun bunyi bahasa.
Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa menulis dan membaca karya sastra berupa puisi di instagram adalah bagian dari peristiwa sastra dan penulis – saya- menyebutnya kekinian karena melibatkan media sosial di alat yang canggih bernama aplikasi instagram yang memang sedang menjadi favorit para pengguna smartphone di seluruh belahan dunia. “Karya sastra tidak lahir dari kekosongan” (Murmufid, 1997: 1).
Selalu ada alasan mengapa karya sastra hadir di tengah-tengah masyarakat seperti alasan aktualisasi diri, kebutuhan jiwa, populeritas, kekayaan, sampai alasan ingin pamer karya lalu ingin mendapat pujian. Apapun alasan itu yang pasti karya sastra adalah cerminan dari masyarakat, karya sastra tidak hadir begitu saja. Namun yang perlu diingat juga pernyataan dari Rosa (2003: 7), “Yang harus dipikirkan juga adalah bagaimana menjadikan sastra sebagai sarana dakwah yang bukan saja memberikan pencerahan fikriyah, namun juga pencerahan ruhiyah bagi para pembacanya”.
Semoga pernyataan Helvy Tiana Rosa ini dapat juga menjadikan para pengguna instagram yang berpuisi agar lebih bertanggungjawab dan berintelektual dalam menghasilkan karya sastra di instagram karena aplikasi ini dapat diakses oleh siapa saja.
Sumber :Winarti